February 27, 2017

UJIAN DI SEKOLAH (TEBAK-TEBAKAN DI SEKOLAH)

Foto : www.kesekolah.com
Tak ada yang akan mengingkari sakralnya ujian bagi anak sekolah. Betapa tidak, hasil ujian merupakan salahsatu penentu rangking kelas, kenaikan kelas, dan tentu untuk membuktikan diri sebagai anak yang pantas dibanggakan. 

Akan tetapi, dibalik acara sakral itu, ternyata menyimpan cerita kelam yang mungkin sangat jarang diungkap. Ironisnya, ujian yang tujuanya menunjukkan pemahaman, secara bersamaan juga bisa menunjukkan kegagalan. 

Mungkin kita pernah mendengar cerita tentang siswa yang hanya butuh waktu 15 menit untuk menyelesaikan 40 soal. Apakah memang mereka adalah orang-orang cerdas?. Belum tentu, kenyataanya jawaban mereka tidaklah 100 % benar tetapi malah ada yang hanya menjawab benar 5 % saja. 

Mereka ini adalah kaum mayoritas di kelasnya. Mereka adalah penebak-penebak ulung. Sebagian besar adalah orang-orang frustasi  dengan mata pelajaran yang dianggap terlalu sulit baginya. Mereka kemudian menyederhanakan persoalan ujian dengan berasumsi bahwa ujian adalah persoalan benar dan salah. Ketika jawaban benar kita akan mendapat nilai tinggi ketika salah akan medapat nilai jelek. Dan akhirnya keluarlah jurus mabuk pada saat mengerjakan ujian alias tebak-tebakan.

Tebak menebak di ujian didukung oleh bentuk soal pilihan ganda yang populer saat ini. Dimana mereka hanya butuh memilih jawaban. Semakin mudahlah mereka menebak, karena kemungkinan pada soal pilihan ganda lebih sempit dari pada soal essay. 

Bentuk seperti ini tidak begitu berperan dalam peningkatan kekuatan berpikir karena tidak ada peluang untuk berpendapat. Kreatifitas tidak begitu dibutuhkan, dan sulit membedakan mana jawaban hasil contekan dan yang bukan. 

Tidak heran jika soal pilihan ganda begitu disenangi oleh siswa. Disisi lain, soal pilihan ganda menjadi pilihan guru karena penskorannya lebih cepat dan mudah. Bentuk pilihan ganda dibutuhkan karena guru harus secepatnya mengumumkan nilai untuk siswa yang jumlahnya banyak. 

Dilema penilaian di sekolah seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Aksi “tebak-menebak” ini bukan pada saat ujian saja, tetapi juga dalam proses belajar mengajar sehari-hari. Saat guru mengecek pengetahuan awal siswa tentang materi yang akan diajarkan,  beberapa siswa akan menjawab, kemudian berusaha menebak kebenaran jawabannya melalui ekspresi sang guru. Jika mereka menemukan ekspresi kurang menyenangkan mereka akan mengganti jawabannya. Keyakinan mereka terhadap apa yang iya ketahui begitu mudah goyah hanya karena ekspresi saja.
Fenomena lain yang muncul dalam ujian semester adalah kecerdasan polesan. Kecerdasan polesan yang dimaksud timbul karena siswa mempersiapkan diri jauh hari sebelum dilakukan pengukuran kemampuan. 

Apa yang terukur dari ujian adalah hasil polesan beberapa malam yang keasliannya diragukan. Setiap ujian pasti dikeluarkan jadwalnya jauh sebelumnya dan diberi tahu materi apa yang akan diujikan. Ajaib jika kita menemukan sekolah yang melaksanakan ujian mendadak. 

kecerdasan polesan inilah yang terukur selama ini. Membuat kita menemukan siswa yang pada saat kelas 7 SMP seolah tidak pernah diajarkan pelajaran kelas 5 SD. Begitu seterusnya sampai tingkat SMA, bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi. 

Yang paling mengerikan adalah ketika orang –orang yang cerdas polesan ini kemudian menjadi guru maka terjadilah siklus polesan yang tak berujung pangkal.

Ujian Nasional (UN) pun tidak luput dari persoalan yang sama. Alih-alih untuk mengukur kemampuan siswa lulusan, UN juga justru menjadi ajang tebak-tebakan nasional. Lihatlah bagaimana sibuknya para guru melakukan bimbingan belajar sebelum UN. Bimbingan belajar ini berisi materi tentang kemungkinan-kemungkinan soal yang akan muncul di UN atau dengan kata lain berisi daftar soal dimana beberapa soal itu akan diujikan nantinya. 

Apa yang berperan disini adalah keberuntungan dan kehebatan guru dalam menebak soal UN bukan masalah kapasitas intelektual siswa. Alat pengukur kompetensi sudah menjadi kompetensi itu sendiri, dan itu sudah dilakukan bertahun-tahun.

Kegagalan mencapai kompetensi kemudian diatasi dengan program remedial. Program Remedial adalah program pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik yang belum mencapai kompentensi minimalnya dalam satu kompetensi dasar tertentu. 

Beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran remedial yaitu: pembelajaran individual, pemberian tugas, diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, dan tutor sebaya. Guru juga sudah lama meresahkan ini. Beberapa siswa justru tidak serius pada ujian utama karena menganggap nanti akan ada remedial. 

Apalagi waktu pembelajaran remedial ini tidak boleh dilakukan pada saat jam efektif. Artinya, harus dilaksanakan di luar jam sekolah. Praktisnya pembelajaran remedial lebih banyak dilakukan dengan pemberian tugas dan kerja kelompok. 

Apakah ini memang akan meningkatkan kompetensi siswa secara nyata?. Jawabnya tidak. Error system tetap terjadi. Tugas seadanya, menyontek tugas teman, meminta orang lain mengerjakan, dan lain-lain muncul karena motivasi semata-mata nilai yang ingin diperbaiki dalam program remadial.

Menurut C. P. Chaplin (ahli psikologi), Kecerdasan adalah kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara tepat dan efektif. Kita tidak akan menghasilkan orang-orang cerdas dari perburuan nilai dengan ujian tertulis. 

Produk dari perburuan nilai ini adalah orang yang sangat hebat menjelaskan sesuatu tetapi bingung ketika diminta menunjukkan realitasnya. Orang yang takut bertindak, bahkan untuk mengisi biodata dirinyapun masih takut. Tanpa disadari, orang tua dan guru sendiri terjebak membimbing siswa untuk berburu nilai. Baik dalam bentuk bimbingan soal-soal maupun menakut-nakuti mereka dengan nilai dan kemudian memeliharanya. 

Mereka yang kompetensinya berbeda jauh tetap berada di kelas yang sama.
Hal-hal seperti ini sepenuhnya sudah disadari oleh para pakar pendidikan kita. Tapi solusinya tentu bukanlah solusi tunggal, karena persoalan pendidikan bukan hanya persoalan yang berpusat di sekolah saja. 

Persoalan pendidikan anak adalah persoalan bersama seluruh elemen masyarakat. Dipetik dari petuah KI hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah gerakan bersama bukan gerakan sekolah. 

Anomali seperti ini tidak bisa dipecahkan oleh para guru sendirian. Para praktisi pendidikan pun tidak akan berdaya menghadapi kekuatan aneh yang berkuasa di dunia pendidikan. kekuatan yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon