March 21, 2017

Sepenggal Cerita “Pulang-pergi”

Tags
Pagi, mendung memayungi pulau kecil ini. Jalanan masih lembab, beberapa becek. Di dermaga Feri Sungai Jepun, saya berjalan cepat-cepat sambil menghindari jalanan yang berlubang. Musim hujan seperti ini lubang-lubang itu berisi air. Sesekali saya naik ke atas trotoar jika jalan tak  layak lagi dilewati. Trotoarnyapun sudah berlubang-lubang. Warna kekuningan air dan tanah lengket menyemiri sepatu saya. Gerimis meninggalkan titik-titik air di jaket dan helm saya. 

Teman-teman sudah menunggu di ujung dermaga.  Hampir setiap hari saya orang terakhir yang di tunggu. Iwan sudah bersiap menyalakan mesin perahunya. Kami berangkat pagi itu menerobos gerimis menuju pulau sebatik.

Canda tawa meretas kesombongan saat perahu mulai meninggalkan dermaga. Saya lebih sering duduk di bagian belakang bersama empat kawan lainnya. Selalu saja ada kelucuan yang dibagi hingga dermaga Binalawan.
Empat tahun jalan ini saya lewati. saya ikut perahu sewa (carteran) bersama teman-teman guru dan pegawai puskesmas. Sudah berkali-kali pula kami ganti perahu. Pertama-tama perahu Kahar, seorang perantau mandar yang tidak terlalu banyak bicara kepada penumpang. Pada hari-hari biasa di luar waktu sewa, saya sering gratis di perahunya. Mungkin karena “ikatan” sesama perantau mandar. Tapi, tidak berselang lama, kami pindah ke perahu Pendi.

Pendi adalah karakter orang yang banyak bicara dan humoris. Pendi berhenti jadi juragan karena masalah intern organisasi pemilik perahu. Kami pindah lagi ke perahu pakcik Daru. Pakcik ini lebih elegan, mungkin karena lebih tua dari dua orang sebelumnya. Beberapa bulan kemudian, kami berganti perahu yang keempat kalinya karena Pakcik Daru ingin merenovasi perahunya.

Kami memakai perahu Bondeng yang sampai sekarang saya tidak tahu nama aslinya. Yang saya tahu, dia dipanggil “bondeng” dalam bahasa bugis karena badannya yang gempal. Perahu si Bondeng bertahan agak lama kami sewa, walaupun kadang-kadang kami di “oper” ke perahu Daris dan Jabe. Terakhir Bondeng mengarahkan kami menyewa perahu Iwan. Perahu ini adalah perahu yang dulu dikemudikan oleh Pendi. Iwan dan Bondeng adalah sahabat dekat. Karakter keduanya mirip. Saya sering berbagi cerita dan canda dengan mereka.
Baca Juga : Cerita Pulang Kampung (Masih Saja Ada kejanggalan)
Pengalaman paling mendebarkan pernah saya alami saat masih menggunakan perahu Pakcik Daru. Tanda-tanda ombak besar sudah kami lihat sejak di dermaga. Kata penduduk setempat “masssongko aji si”(memakai songkok haji lagi). Istilah dalam bahasa bugis dengan maksud banyaknya buih di tengah laut, menandakan ombak besar sedang menunggu. Untuk naik ke perahu saja sulit, harus memperbaiki kuda-kuda agar tidak jatuh.

Awal perjalanan, saya santai saja. Beberapa meter kemudian saya merasakan perahu terangkat tinggi, lalu turun lagi dengan posisi miring. Seorang teman menyodorkan pelampung. Susah payah saya mengambilnya karena perahu yang terombang-ambing. Percikan air laut akibat benturan ombak dan badan perahu sesekali membasahi pakaian. Doa adalah satu-satunya fokus saya. Semakin ke tengah, ombak makin tinggi.

Di sela-sela suara mesin diesel (dompeng) yang keras, pakcik daru berbicara kepada saya. Tidak jelas apa yang dia ucapkan. Dia menunjuk-nunjuk jerigen bensin yang jatuh, spontan saya mengerti bahwa saya diminta memegang jerigen itu. Dia tidak boleh melepas setir dalam situasi  seperti ini.

Konsentrasinya harus selalu tertuju pada pola gelombang. Gelombang tiga lapis yang datang berturut-turutlah yang harus diwaspadai. Konon jenis gelombang seperti ini bisa membalikkan perahu jika tidak dikendalikan dengan baik. 15 menit saya lalui dengan ketegangan. Juragan setengah baya ini lumayan berpengalaman.  Tidak ada raut wajah panik yang ia tunjukkan. Terucap kata alhamdulillah ketika perahu sandar di dermaga dengan selamat.

Awal 2017 saya meninggalkan Sebatik sekaligus mengakhiri cerita Perahu “carteran” ini. Saya belajar tentang laut, persahabatan, kekompakan, konflik kehidupan, kesenjangan di perbatasan dan masih banyak lagi. Belajar dari  episode drama kehidupan dalam kerangka yang tak bisa diulang-ulang. Tulisan ini sedikit kenang-kenangan (mungkin akan dilanjutkan lagi)untuk teman-teman yang pernah dan yang sampai hari ini masih “pulang-pergi” Nunukan-Sebatik.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon