June 27, 2017

Drama Korea di Pendidikan Indonesia (Sekolah 8 jam dan PPDB)

Foto : wn.com

Perubahan kebijakan pendidikan bak drama yang tak tertebak endingnya. Pergantian kurikulum adalah hal yang "dibiasakan". Revisinya dilakukan hampir setiap tahun. Para guru hanya pelakon. Menunggu instruksi, bertepuk tangan ataupun diam. Apalah daya pelakon drama, mereka tak bisa mengubah akhir cerita.

Pertengahan 2017, drama pendidikan kembali mempertontonkan episode baru. Dua kebijakan pendidikan lahir hampir bersamaan,  salah satu kebijakan ini kontra dengan sistem pendidikan Finlandia. Negara buah bibir para pemerhati pendidikan sebagai rujukan ideal.

Polemik ini mengantar saya mengutak-atik peringkat pendidikan yang dikeluarkan oleh PEARSON. Sebuah lembaga survei solusi pendidikan global yang menempatkan Indonesia di urutan 40 dari 40 negara. Sama buruknya dengan peringkat PISA (organisasi pemetaan internasional) yang menempatkan indonesia di urutan 64 dari 65 negara. Pada penilaian Pearson tahun 2015-2016, peringkat teratas justru di duduki oleh Korea Selatan.

Melirik pendidikan Korea Selatan, mereka ternyata menjunjung tinggi pendidikan yang "berlama-lama" di sekolah. Siswa Korea Selatan bersekolah dari pagi sampai malam. Sebagian besar siswanya bahkan melanjutkan kursus atau les tambahan hingga jam dua belas malam. Kegiatan sekolah mereka berpusat pada keahlian dan kreatifitas. Korea Selatan tidak punya pelajaran agama secara khusus di kurikulumnya. Cobalah kita ingat-ingat kebijakan "8 jam di sekolah" Indonesia, tentu "drama" pendidikan Korea selatan ini tidak asing bagi kita.

Baca Juga

Dugaan "drama Korea" di pendidikan Indonesia berlanjut ke episode berikutnya. Saat masyarakat kembali heboh oleh penerimaan peserta didik baru (PPDB). PPDB sekolah menengah tahun ini mewajibkan sekolah menerima siswa dalam zona tertentu (sistem zonasi). Sistem yang prakteknya mirip dengan kebijakan "equal accessibilty" ala Korea selatan. Hanya saja, Korea selatan mengembangkan komunitas belajar, sehingga tidak begitu kaku pada pembatasan jumlah siswa. "Negeri ginseng" ini tidak menggunakan "grade nilai", mereka lebih fokus pada "grade usia". Kelebihanannya terlihat pada perkembangan sekolah negeri dan swasta yang sejajar, tidak timpang seperti di Indonesia.

Jika benar kita sedang dibuai oleh "drama korea", patutlah kita menyiapkan penyeka air mata. "Drama" pendidikan Korea tak selalu berujung manis. Rentetan kasus bunuh diri pelajar di sana disebabkan oleh beban belajar yang terlalu tinggi. Penyebabnya diketahui karena persaingan yang sangat ketat memasuki perguruan tinggi. Ironisnya, persaingan ketat di Indonesia bukan di perguruan tinggi saja tapi sudah dimulai sejak sekolah menengah.

*Dari berbagai sumber

Artikel Terkait

1 komentar so far

Drama korea selatan yg saya ketahui tidak membosankan 😀


EmoticonEmoticon