June 22, 2017

Mudik dengan Kapal Laut Part 2 (Calo dan Luka Para Pemudik)

Tags

Foto : travel.rakyatku.com
Pelabuhan adalah tempat merisaukan bagi para penumpang baru kapal laut. Kriminalitas membayangi setiap langkah mereka disana. Kriminalitas yang berporos pada materi. Inilah dampak nyata ketika materialisme dijadikan sesembahan. Nilai-nilai kemanusiaan diabaikan. Manusia dipandang sebagai komoditi yang layak dieksploitasi.

Jam sudah menunjukkan pukul 01.15, saat kami beranjak dari kantin ke tempat tidur masing-masing. Di sepanjang jalan dari dek 7 ke tempat tidur saya di dek 5, masih banyak juga orang yang terjaga. Beberapa penumpang yang menempati dek luar sengaja tidak tidur demi menjaga barang bawaan.

Menurut jadwal, kapal berlabuh subuh ini. Saat-saat rawan kehilangan barang, apalagi suasana masih gelap. Bahagia akan kerinduan yang terbayar, bercampur dengan keresahan tentang barang bawaan.

Rupanya, efek kafein semalam membuat saya tak bisa tidur hingga pukul 3 pagi. Sayup-sayup terdengar pengumuman dari speaker kapal bahwa 1 jam lagi kapal akan berlabuh di pelabuhan Pare Pare.

Tadinya saya menunggu panggilan makan sahur, rupanya makan sahur sudah tidak disediakan lagi. Saya tetap mencoba untuk tidur. Hingga kapal telah berlabuh, saya masih gagal juga.

Suara buruh pelabuhan sudah terdengar mencari jemputan. Mereka ini adalah buruh yang bekerjasama dengan "pengurus". "Pengurus" adalah orang yang bekerja menjual jasa. Mereka mengurus tiket, angkat barang, tempat di kapal, hingga transportasi darat dalam satu paket. Semacam jasa travel non resmi yang dikelola perorangan. Ada juga yang benar-benar usaha travel resmi, tapi jumlahnya sedikit. 

"Pengurus" dan calo bagi saya sedikit berbeda. "Pengurus" mengambil untung dengan ketetapan tertentu dan diketahui banyak orang, sedangkan calo keuntungannya tak dapat dikira (fluktuatif) atau variabelnya dinamis tergantung kepada siapa mereka bertransaksi. Keuntungan "pengurus" bisa dikatakan sebanding dengan jasanya.

"Pengurus" adalah orang populer yang mempunyai jejaring luas di pelabuhan. Masing-masing dari mereka mempunyai nama panggilan unik (semacam nickname). Hal yang kontradiktif dengan Calo. Para calo biasanya tidak terlalu mempopulerkan namanya.   

Hampir setiap penumpang punya "pengurus" langganan. Biasanya sesuai daerah asalnya, karena penggunaan jasa semacam ini lebih pada ikatan kepercayaan. Jasa "pengurus" dianggap penting untuk kemudahan. Saya sendiri kadangkala menggunakan jasa "pengurus", jika punya barang bawaan banyak. 

Terkadang sulit membedakan antara calo dan pengurus, karena calo bisa bertindak seolah "pengurus", "pengurus" pun kadang-kadang bertindak seperti calo.

Saat saya turun dari kapal, ada banyak orang menawarkan jasa angkutan darat. Entah mereka calo atau sopir, saya tidak mudah percaya. 

Pelabuhan Pare Pare dikenal para perantau sebagai sarang calo, makanya saya selalu berhati-hati. Predikat ini bukan sekedar stigma. Setiap saya melewati pelabuhan ini, selalu saja ada korban percaloan. 

Seperti cerita 4 orang pemuda asal Mandar yang satu angkutan dengan saya. Mereka membayar sampai seratus lima puluh ribu rupiah untuk angkutan Pare Pare-Polewali Mandar, padahal sewa angkutan normal hanya lima puluh ribuan saja. Sopir aslinya hanya diberi enam puluh ribu katanya. Bayangkan berapa kerugian penumpang itu. 

Dua tahun lalu pun saya mendengar cerita sama dari salah seorang penumpang. 

Agar terhindar dari praktek calo, saya memilih jalur aman. Saya menyewa ojek sampai pertamina Soreang, kemudian menunggu angkutan Polewali di sana. 

Baca Juga

Mengapa para calo ini tidak ditangkap? Bukankah mereka terang-terangan melakukan praktek penipuan? Dimana aparat dalam kasus seperti ini?. Pertanyaan ini menjadi bahan diskusi selama perjalanan. 

Kesimpulan yang kami tarik dari diskusi itu, bahwa korban tidak punya waktu dan bukti kuat untuk melaporkan kejadian seperti ini. Para korban juga adalah pendatang baru yang takut akan berakhir dengan penganiayaan, sehingga transaksinya dianggap sebuah kesepakatan. Mereka juga masih khawatir bahwa para calo ini di beking oleh oknum aparat. Kesimpulan terakhir ini sedikit mengambang karena sulit dijawab dan dibuktikan oleh awam. 

Sekedar diketahui, di dalam pelabuhan sangat ketat razia narkoba, senjata tajam, bahan peledak dan lain-lain. Sementara di luar pelabuhan, praktek pencaloan juga ramai dan seolah dibiarkan.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon