August 11, 2017

Ketidakadilan dalam Sistem Rangking di Sekolah

Foto : Beberapa siswa sedang mengikuti materi piknik literasi di Kodim Nunukan
Rangking dalam pendidikan tidak akan pernah jauh dari kata “kompetisi”. Setiap peserta didik menjadi individu-individu yang berkompetisi. Kompetisi utamanya adalah perebutan nilai tinggi.

Sejak sekolah dasar, anak-anak indonesia di-rangking berdasarkan nilai tertinggi yang kemudian diabadikan dalam buku laporan hasil belajar (raport).

Kompetisi kelas ini terus dijalani selama enam tahun. Setelah enam tahun, kompetisi baru harus mereka lewati lagi. Persaingan nilai untuk masuk ke sekolah menengah pertama seperti sistem knock-out dalam kejuaraan. Siapa yang kalah, dia tidak dapat melanjutkan babak berikutnya. Kompetisi ini berulang hingga jenjang SMA, Perguruan tinggi bahkan sampai di dunia kerja.

Sadisnya kompetisi mungkin tak dirasakan oleh pemenang. Tetapi bagi yang kalah, tentu sebuah pukulan hebat. Rangking kelas yang seharusnya menjadi motivasi untuk terus belajar menghadirkan masalah lain.

Siswa yang dianggap tidak mampu bersaing seolah tercampakkan dan semakin terpuruk seiring kenaikan jenjang pendidikannya. Hanya sedikit diantara mereka yang mampu bangkit. Sebagian besar justru mengukuhkan diri sebagai pelawak atau jagoan pelanggar aturan.  

Dalam perkembangannya, mereka sering menempuh cara-cara curang dalam ujian, menyontek tugas rumah, terpaksa melakukan piket kebersihan dan lain-lain.

Bibit kecurangan inilah yang menjadi biang, hingga kita mendengar berita tentang oknum kapolsek dan pengusaha memasukkan anaknya ke sekolah dengan surat keterangan tidak mampu.

Tidak akan masalah seandainya rangking itu tidak hanya meninjau capaian akademik. Toh kesuksesan tidak begitu ditentukan oleh nilai akademik.

Bukankah Bill Gates pendiri microsoft adalah mahasiswa drop out? Mark Zuckerberg saat mendirikan facebook juga belum menyelesaikan kuliahnya. Belum lagi kita berbicara atlet sekelas Messi, Ronaldo, Valentino Rossi dan masih banyak lagi yang lain. Mereka sukses bukan karena nilai akademik.

Lalu bagaimana mereka bisa sukses tanpa nilai akademik yang baik?

Baca Juga


Mari kita bahas sedikit tentang multiple intellegent. Howard Gardner, tokoh pendidikan dan psikolog kenamaan mengatakan bahwa tingkat inteligensi atau IQ bukan satu-satunya yang dapat meramalkan keberhasilan seseorang tetapi ada kecerdasan dalam spektrum yang lebih luas yaitu kecerdasan majemuk (multiple intelligent).

Setiap anak memiliki kecenderungan dari delapan kecerdasan, meskipun memiliki tingkat penguasaan yang berbeda yaitu:
  1. Kecerdasan bahasa (verbal-linguistic intelligence), kecakapan berpikir melalui kata-kata, menggunakan bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang kompleks 
  2. Kecerdasan matematika  –  logis (logical-mathematical intelligence), kecakapan untuk menyelesaikan operasi 
  3. Kecerdasan spasial–visual (visual-spatial intelligence), kecakapan berpikir dalam ruang tiga dimensi 
  4. Kecerdasan kinestetis atau gerakan fisik (kinesthetic intelligence). Kecakapan melakukan gerakan dan keterampilan-kecekatan fisik 
  5. Kecerdasan musik (musical intelligence).  Kecakapan untuk menghasilkan dan menghargai musik, sensitivitas terhadap melodi, ritme, nada, tangga nada, 
  6. Kecerdasan hubungan sosial (interpersonal intelligence). Kecakapan memahami dan merespon serta berinteraksi dengan orang lain secara efektif 
  7. Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence). Kecakapan memahami diri dan menata kehidupannya sendiri 
  8. Kecerdasan  naturalis hakekatnya adalah kecakapan  manusia untuk mengenali tanaman, hewan dan bagian lain dari alam semesta.
Dari delapan kecerdasan ini, mustahil kita membandingkan peserta didik satu dan lainnya secara tepat hanya dengan satu indikator kecerdasan saja. Tingkat kesalahan dan kepercayaan dari pengukuran seperti itu pastilah sangat tinggi.

Jika ingin mengukur kemampuan seorang anak, akan lebih bijak jika kita melihat perkembangan kecerdasannya setiap semester.

Model raport perkembangan kecerdasan perlu dikembangkan lebih luas dalam kurikulum. Dengan penilaian seperti ini, anak-anak tidak perlu merasa harus mengeliminasi teman sekelas atau seangkatan dalam proses pendidikannya.

Sikap eliminatif ini bisa jadi adalah biang disintegrasi bangsa yang kita rasakan saat ini. Sikap ini membentuk generasi individualis. Andai saja konsep multiple intellegent diterapkan dengan baik sebagai acuan penilaian, maka rangking saat ini tidak akan menjadi praktek yang sesat.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon