January 03, 2018

Pengantar Kisah Asal Usul Katumbangan

Tags
Tulisan ini tak layak di katakan sejarah,  hanya sekumpulan kisah yang didengar penulis. Semoga saja suatu hari akan disertakan bukti autentik. 

Ada lebih dari satu kampung di Polewali Mandar yang bernama Katumbangan. Jika kita menelusuri jalan di samping Kantor Camat Campalagian, ada dua Katumbangan yang akan kita temui. Katumbangan pertama adalah nama desa dan Katumbangan yang kedua adalah nama dusun.
Foto : Masjid Fastabiqul Khairat
(dok. Pribadi)

Agar tidak membingungkan, sebaiknya kita tahu bahwa ada dua desa yang namanya mirip yaitu; Desa Katumbangan dan Desa Katumbangan Lemo. Di Desa Katumbangan Lemo ada Dusun Katumbangan. Dusun Katumbangan inilah tempat kelahiran saya dan ingin saya ceritakan kali ini.

Asal Usul Nama Kampung

Wilayah Katumbangan dan sekitarnya dulu dikenal keras. Sebut saja Pallu'dai, lu'dai berarti menumbuk orang beramai-ramai. Pallu'dai berarti orang atau sekelompok orang yang me-lu'dai musuhnya.  Konon, mereka menumbuk-numbuk musuh yang ingin mengacau di kampungnya. Versi lain yang tak kalah keras-nya bahwa Pallu'dai berarti lipat keatas. Orang kebal yang sulit dikalahkan kala itu dilipat hingga bisa terbunuh.

Sampai detik ini tak ada yang benar-benar bisa membuktikan mengapa dinamakan Katumbangan. Versi cerita yang saya dengar dari Bapak Saya bahwa Katumbangan berasal dari kata “Tumbang” yang berarti “kalah”. Katumbangan bisa diartikan sebagai “tempat kekalahan”. Konon, kata Katumbangan dinamai oleh kelompok Suku Toraja yang pernah berkebun di kampung ini. Berkali-kali mereka terlibat pertikaian dengan kelompok Mandar tapi selalu tumbang (kalah).

Baca Juga


Kelompok Mandar adalah sekelompok petani yang bermukim di wilayah Botto. Menurut cerita dari nenek saya, setiap penduduk pada zaman belanda tidak di perbolehkan membangun rumah selain di pinggir jalan raya. Makanya mereka membangun rumah di Botto kemudian berkebun di Katumbangan.

Katumbangan yang dimaksud zaman itu bukan di pemukiman ramai saat ini, tapi agak ke Timur sebelum Desa Rumpa. Lokasi Katumbangan itu sekarang menjadi lahan perkebunan yang diwariskan kepada keturunan Kanne’ Manyang. 

Kehadiran suku Toraja di Katumbangan sangat sulit dibuktikan. Satu-satunya petunjuk adalah tempat yang dinamai “Kuburan Toraja”yang kini sudah menjadi kebun dan sawah. Lokasinya berada di sekitar belakang rumah nenek saya (Hj. Nati).

Versi kedua tentang katumbangan yang lebih sejuk didengar bahwa "tumbang" berasal dari kata "timbang". Katumbangan merupakan tempat menimbang masalah atau tempat musyawarah untuk menentukan keputusan segala macam persoalan sosial politik bahkan agama. Versi ini pernah saya dengar dari paman saya yang meninggal saat menjalankan ibadah haji (Pua' Hi'da).

Kedua versi tentang asal nama katumbangan secara pribadi saya terima. Terlepas dari belum adanya penelitian lebih dalam, kedua versi cerita ini menurut saya menitipkan pesan moral tentang keberanian, kegigihan dan kebijaksanaan. Pesan ini akan saya pegang teguh sebagai generasi ketiga dari dusun kecil ini.

Asal Usul Penduduk

Penduduk di dusun Katumbangan terdiri dari beberapa keluarga besar. Diantaranya adalah keturunan Kanne' Engger, Kanne Mandor, keluarga dari Tande dan Keluarga Tuan Guru Firdaus.  Tentu tak baik mengelompokkan keluarga ini secara "ekstrem" karena telah terjadi perkawinan antar keluarga yang menyatukannya.

Kanne' Engger berasal dari pajjallungan (campalagian), beliau adalah buyut saya. Ia terkenal memiliki tanah yang luas. Ia memiliki banyak pekerja yang tidak lain adalah keponakannya sendiri. Para keponakan beliau ini masih muda saat itu.  Sebagian dari mereka menjual tanah miliknya kepada orang diluar katumbangan. Salah satu pembeli itu berasal dari Tande. Dipicu oleh Peristiwa "penyapuan", beberapa keluarga dari tande ini memutuskan untuk membuat rumah tinggal di lokasi kebun mereka di katumbangan. Saya mendengar cerita heroik tentang Pua' Hama' yang membawa lari satu persatu adik-adiknya untuk disembunyikan di gunung, saat Pasukan Westerling menyisir wilayah Majene.

Kanne' Mandor adalah kepala kampung waktu itu,  Ia dikenal berani dan bijaksana. Ia bersama Kanne Engger dan Kanne' Guru mempelopori pembangunan mushallah di katumbangan yang kemudian menjadi masjid.

Ada juga keluarga keturunan Bapak Firdaus, seorang guru sekolah rakyat di katumbangan.  Lokasi sekolah ini berada di sekitar masjid (dekat rumah kindo' Suni sekarang). Konon,  Bapak Firdaus adalah satu-satunya guru pada waktu itu.  Naasnya,  pada saat Ia sedang mandi di sumur,  Tuan Guru Firdaus di buru oleh batalyon 710 karena dianggap mata-mata pemerintah. Ia lalu berlari dengan cepat ke rumahnya. Saat mengintip di jendela,  Ia langsung ditembak dan mengenai bagian dadanya. Bapak Firdaus akhirnya meninggal dunia. Kejadian ini membuat sekolah yang melayani siswa dari berbagai kampung ditutup. Tak ada lagi siswa yang mau bersekolah karena takut.

Kakek saya (kanne'guru) adalah menantu dari Kanne' Engger (Ayah dari Kanne Aji). Kanne' Guru berasal dari Samasundu dan masih keturunan dari Puang di Pangale dari garis keturunan Pua' Dimana. Waktu kecil saya sering berkunjung ke makam Puang di Pangale yang sekarang menjadi situs sejarah. Salah satu saudara kakek saya pernah jadi kepala Samasundu pada masa kerusuhan Batalyon 710. Waktu itu para kepala kampung akan ditangkap oleh tentara 710. Saudara kakek saya ini kemudian lari ke Makassar dan tidak kembali sampai sekarang.  Terjawablah mengapa saya punya sepupu di Sungguminasa yang tidak tahu bahasa mandar.

Bapak saya bercerita bahwa Kanne'Guru adalah pemain gambus hebat. Gambus peninggalannya disimpan oleh Almarhum Pua'Hi'da. Musik gambus dimainkan untuk menyampaikan pesan-pesan agama islam. Kanne' Guru sangat antusias menyampaikan ajaran agama di kampung.  Bahkan salah satu anaknya (bapak saya) disekolahkan di DDI Sengkang yang waktu itu masih ditempuh dengan bersepeda.

Pembangunan Masjid Fastabiqul Khairat

Seperti sudah saya ceritakan diatas,  Kanne' Mandor, Kanne' Engger dan Kanne'Guru mempelopori pembangunan masjid di katumbangan.  Dibantu masyarakat lainnya, tiga tetua kampung ini berinisiatif membangun masjid sendiri mengingat jauhnya perjalanan menunaikan shalat jumat. Masyarakat katumbangan biasanya melaksanakan shalat jumat di Kappung Masigi. Untuk menuju Kappung Masigi, penduduk katumbangan harus menggunakan sampan.  Dikisahkan, suatu ketika sampan yang mereka tumpangi tenggelam saat perjalanan shalat jumat. Sejak itulah masyarakat Dusun Katumbangan semakin kuat inisiatifnya untuk membangun masjid sendiri.

Untuk membangun masjid, setiap penduduk yang memiliki pohon jambu air wajib menyumbangkannya sebagai bahan bangunan. Tahun 1948, dibangunlah masjid pertama di dusun katumbangan. Bangunan masjid pertama ini terletak sekitar 100 meter sebelah selatan lokasi masjid sekarang. Lokasi awal ini sekarang telah menjadi area persawahan.

Pemindahan bangunan masjid dilakukan pada tahun 1952 karena seringnya terjadi banjir di lahan awal. Lahan baru masjid sedikit lebih tinggi dari sebelumnya sehingga dianggap lebih cocok.

Pembangunan masjid di lokasi baru sempat terhambat karena langkanya bahan untuk atap (seng). Maklum saja karena pada saat itu terjadi pergolakan militer di Mandar yang melibatkan Pemerintah, Batalyon 710 dan gerilyawan DI/TII. Para tetua kampung akhirnya sepakat untuk membeli seng dari salah satu anggota Batalyon 710. Naasnya, Kanne’ Guru yang saat itu bertugas membeli seng harus membayar dua kali. Dua orang berbeda dari kelompok militer ini menagih dengan dalih dan intimidasi senjata.

Pembangunan Masjid Fastabiqul Khairat terus dilanjutkan. Pemugaran Masjid dilakukan kembali pada tahun 1992 hingga tahun 1998, tiang kayu sepenuhnya diganti dengan beton. Bangunan hasil pemugaran yang bisa dilihat hingga sekarang dan terus ditambah fasilitas-fasilitasnya. Dana pembangunan masjid dikumpulkan dari sumbangan tetap ataupun sumbangan tidak tetap dari masyarakat.

Beberapa orang yang tercatat sebagai imam yaitu Yusuf (Layusu, kakek dari keluarga iyye'na fi'na), kemudian digantikan oleh Sultan (Sulutan). Sulutan yang ditangkap karena dituding terlibat pemberontakan DI/TII kemudian digantikan oleh Sunusi (Kanne'Guru). Setelah Kanne' Guru, Imam masjid Fastabiqul Khairat selanjutnya bernama Parakkai. Parakkai lalu digantikan oleh M. Yasin (Hamma asing). Akibat penyakit stroke, Hamma Asing kemudian digantikan oleh M. Idrus Sunusi. M. Idrus Sunusi menjadi Imam hingga saat ini.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon