February 02, 2018

Guru Budi dan Catatan Luka untuk Pendidikan Indonesia

Tags
foto: facebook.com/achmad budi cahyanto
Sebagai sesama guru, hati saya seperti teriris-iris mendengar kabar dari Sampang Madura. Pak Budi,  Guru muda yang menghembuskan nafas terakhir setelah dipukuli muridnya sendiri. Saya ingin mengabadikan namanya di blog ini sebagai penghormatan terhadap sang pahlawan sejati.

Tragedi itu menghentak

Siang sekitar pukul 13.00, saat jam terakhir hari kamis tanggal 1 pebruari 2018, Pak Budi sedang mengajar melukis. Murid HI menganggu teman-temannya yang sedang melukis, HI mencoret-coret lukisan temannya.

Pak Budi menegur, tak diindahkan.  Ia lalu mencoret wajah murid ini dengan kuas sebagai peringatan keras. Murid jagoan anak kepala pasar ini tak terima. Pak Budi diserang, dipukul hingga dicekik. Murid lainnya melerai.

Oleh Kepala Sekolah, Pak Budi yang tak terlihat luka apa-apa dipersilahkan pulang lebih dulu. Dalam perjalanan pulang, Pak Budi dihadang oleh HI. Ia kembali dianiaya.

Ahmad Budi Cahyono, Guru Honorer di SMA Negeri 1 Torjun, Sampang Madura pulang ke rumahnya. Ia mengeluh sakit di bagian kepala. Setelah dirujuk ke RS Dr. Sutomo Surabaya,  Pak Budi meninggal dunia pada pukul 21.40 karena kegagalan fungsi batang otak.

Pak Budi meninggalkan istri yang mengandung empat bulan. Perjuangan akan nasib lebih baik berakhir dengan tragedi. Anak yang Ia tunggu tak bisa lagi mendengar gesekan biolanya yang merdu. Ayahnya meninggal dalam pengabdian dan derita.

Saya Ragu pada Kebebasan

Situasi yang dialami Pak Budi sangat saya pahami. Di situasi seperti inilah kesabaran menjadi duri tajam yang menusuk-nusuk diri sendiri. Pak Budi termasuk Guru yang mampu mengendalikan diri, hingga hanya mencoret dengan kuas lukis saja. Andai saja kurang sabar,  mungkin sudah lain kejadiannya.

Inilah bencana ketika pendidikan ditumpukan hanya pada sekolah. Guru sekali lagi menjadi korban. Pendidikan "menyenangkan" tak diterima positif oleh murid. Mereka menganggap model pendidikan ini sebagai ruang kebebasan. Kebebasan tak terbatas.

Guru yang tak boleh menghukum fisik seolah "titik lemah" kedisiplinan bagi para murid. Murid sekarang tak ada yang mau didisiplinkan. Entah dengan berbagai alasan.

Saya sangat sepakat bahwa murid "nakal" itu kurang perhatian,  entah dari orang tua,  atau tak begitu diterima di lingkungan pergaulannya. Mereka ingin terlihat hebat di mata teman-temannya. Kadangkala sikap ingin diakui itu kebablasan, di kelas mengganggu teman. Ketika dibiarkan, semakin menjadi-jadi. Ditegurpun, egonya justru semakin memuncak.

Murid seperti ini tak akan peduli pada perjanjian-perjanjian sebelum mengikuti pelajaran. Mereka terjerambab oleh distorsi informasi tentang guru yang tak boleh memukul, tentang guru yang boleh dituntut jika berbuat yang menyinggung.

Distorsi informasi yang mengarah pada kesimpulan prematur bahwa guru jaman sekarang boleh dilawan. Ditambah lagi kolaborasi orang tua dan guru dalam mendidik belum seirama.

Saya sangat ragu bahwa murid bisa mencerna arti kebebasan. Kebebasan dipahami dengan pendekatan liberal garis keras yang memuja hak individu. Bahwa tak ada yang berhak mempengaruhi hidupnya selain dirinya sendiri.

Tragedi ini adalah bukti bahwa persoalan pendidikan tak bisa diselesaikan hanya dengan administrasi ketat.

Terakhir, saya ingin mengutip status facebook Pak Budi pada Hari Guru tahun 2015 sebagai berikut :

"gurumu, adalah hargamu di masa yang akan datang, bahkan di akhirat nanti. jika saat ini sulit bagimu menghormatinya, maka bersiaplah menangis di suatu saat nanti.

karna gurumu itu bukan aku, tp siapapun bahkan apapun yg memberikan dan menunjukkanmu kebaikan.

#selamathariguru
#guruampunisaya

Dari berbagi sumber

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon