March 09, 2018

Dari Sepeda Hingga Bentor

Tags
Waktu tamat SD tahun 1996, Saya melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1 Campalagian. Jarak Sekolah ini dan rumah saya di Katumbangan sekitar 7 kilometer. Saya dan teman-teman naik sepeda, karena waktu itu belum ada angkutan umum di kampung saya.

Pagi hari kami berangkat beriringan dengan rombongan anak-anak dari kampung lainnya. Melewati jalur Barasse, Passairang tembus ke jalan provinsi di samping kantor camat. Saya dan teman-teman memarkir sepeda di rumah warga sebelum pasar. Saya tidak mengenal pemilik rumah, dia juga tidak keberatan kolong rumahnya di penuhi puluhan sepeda. Seingat saya rumah itu berhadapan dengan Ruko deretan BRI sekarang. Dari arah jembatan Puppole, rumah itu ada di sebelah kiri setelah belokan.

Baca Juga



Posisi parkir sangat strategis karena di rumah itu ada bengkel yang bisa melayani pompa angin kalau sepeda bocor. Untuk keamanan, saya mengikat sepeda dengan melilitkan rantai khusus di lingkaran ban ke tiang rumah. Walaupun waktu itu jarang sekali ada berita pencurian sepeda. Tahun-tahun itu ikatan kekrabatan masyarakat masih kuat. Banyak hal yang bisa diperoleh gratis. Ekonomi belumlah sesulit sekarang.

Hampir setahun bersepeda, akhirnya ada angkot yang bisa disewa. Sepeda merah pun di parkir di gudang. Hanya di pake sekali-sekali saja, misalnya jika ingin mancing di empang atau sawah. Kadang juga digunakan kalau ke kebun coklat jika waktunya panen.

Angkot carteran ini berjalan hampir setahun, karena pada tahun 1997 angkot mulai lancar hilir mudik dari Katumbangan ke Pasar Campalagian. Saya malah lebih sering diantar sama Bapak karena bapak saya yang seorang guru dimutasi ke MI Gattungan. Gattungan adalah desa di perbukitan Campalagian (sekarang masuk Kecamatan Luyo). Dari katumbangan ke Gattungan bisa melewati jalur samping Kantor Camat Campalagian lalu belok kanan di jalan poros provinsi, kemudian belok kiri lagi setelah SD Pajjallungan. Bapak mengantar saya ke sekolah, kemudian melanjutkan ke tempat tugasnya.

Pulangnya, Saya kadang menggunakan Angkot. Tapi angkot yang ingin mengangkut anak sekolah pun sangat sedikit. Maklum saja karena anak sekolah hanya membayar setengah dari penumpang umum. Ada satu angkot yang paling rajin mengangkut anak sekolah waktu itu. Angkot tua yang dibelakangnya tertulis “MAS DEDI”. Sopirnya sangat disenangi anak sekolah. Kami tidak tahu namanya, hanya memanggil sesuai tulisan di mobilnya. Jika Mas Dedi ini tidak ada, kami biasanya menunggu angkot milik orang katumbangan. Biasanya mereka mau mengangkut kami.

Awalnya saya benci kepada sopir yang mengacuhkan anak sekolah. Saya merasakan bagaimana kecewanya melihat angkot yang longgar tak mau memberi tumpangan. Belakangan saya baru tahu bahwa mereka juga dikejar setoran. Apalagi pangkalan angkot di dekat kantor camat itu menggunakan sistem antrian jalan. Hanya orang-orang tertentu yang paham bahwa kelancaran transportasi sekolah anak-anak desa itu penting. Pemikiran seperti ini tentu sulit karena angkot memang dibeli untuk kebutuhan bisnis.

Awal tahun 2000-an angkot menuju katumbangan meningkat jumlahnya. Persaingan antar angkot menjadi sangat ketat. Beberapa memilih pindah jalur, bukan lagi dari pasar ke desa tapi dari pasar ke pasar. Saya kurang tahu tepatnya, kapan antrian angkot di samping kantor camat mulai berhenti. Seingat saya saat pulang kampung  tahun sejak 2013, Saya sudah tidak melihat angkot lagi disitu. Saya menggunakan ojek dari kantor Camat Campalagian menuju katumbangan.

Waktu itu, kerabat saya yang tukang ojek berkisah bahwa angkot sekarat karena adanya ojek. Penghasilan ojeknya juga sangat lumayan karena menjadi pilihan masyarakat. Ojek dianggap sebagai sarana transportasi yang lebih praktis dan efisien. Bekas pangkalan angkot berubah menjadi pangkalan ojek. Tahun 2014, Saat saya pulang kampung lagi, sebagian tukang ojek memilih mangkal di pasar Campalagian termasuk kerabat saya itu. Tahun 2016, Kerabat saya itu kembali bercerita, kali ini dengan dengan nada rendah. Penghasilan mereka (para tukang ojek) terancam dengan hadirnya becak motor (bentor). Mau tidak mau dia harus merubah motornya menjadi bentor.

Penjelasannya yang panjang seolah berkata “Hidup itu Kompetisi”.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon