May 17, 2018

Demi Orang Tua Saya Harus Mudik

Tags
Saat khatam Alquran bersama Ibu dan Bapak
(dok pribadi) 

Sudah beberapa tahun tak menjemput ramadhan di kampung halaman. Saya masih ingat masa kecil sekitar awal tahun 1990-an, saat belum semua warga memasang listrik PLN di rumahnya. Kami menyambut 1 Ramadhan dengan menyalakan lilin.

Saya paling senang memasang lilin waktu itu. Dari teras rumah hingga setiap anak tangga, kami memasang lilin hingga berpuluh jumlahnya. Saya pernah menjajarkan lilin dari tangga hingga pagar rumah demi keindahan dan kesenangan saja.

Seluruh warga melakukan hal sama. Kampung kecil kami terang benderang. Sepanjang jalan anak-anak seusia saya berlarian, ceria menyambut tarawih pertama.

Hal unik lain di katumbangan masa itu adalah penjual kacang goreng di pinggir-pinggir jalan. Hampir setiap rumah tangga menjual, toh tetap laku juga. Aktifitas jual kacang ini mulai maghrib hingga selesai tarawih dan hanya pada bulan ramadhan saja.

Tradisi bakar lilin di awal ramadhan sudah tak sesemarak dulu. Hanya beberapa rumah yang membakar lilin sekarang. Mungkin karena lampu tenaga listrik dianggap lebih pas.

Begitu juga dengan penjual kacang goreng itu. Tidak seramai dulu lagi. Entah apa sebabnya, saya mengira-ngira bahwa keuntungan penjualannya sedikit dan kebanyakan orang sudah tidak mau repot karena aktivitas kerja siang yang lebih padat dari pada dulu.

Dulu sebagian besar warga dusun katumbangan berkebun coklat diselingi kelapa. Kebutuhan cukup kala itu. Sekarang, pekerjaan semakin bervariasi sehingga banyak yang tak punya waktu untuk hanya sekedar mengaduk kacang di pasir panas.

Menu buka puasa pun terimbas oleh aktivitas ekonomi yang berubah. Saat ini kebanyakan orang tinggal membeli saja. Tidak banyak yang mengolah sendiri di rumah. Orang tua saya yang kesehatannya mulai menurun juga lebih memilih membeli ketimbang memasak sendiri.
Di masa kecil saya, setiap sore saya mengintip menu buka puasa. Semuanya terasa istimewa meskipun hanya kue bika yang dilumuri gula merah atau onde-onde buatan ibu saya. Menu spesial bagi saya adalah "katiri mandi" dan pisang ijo. Saya sangat bersemangat kalau melihat menu itu di sore hari.

Katiri mandi adalah kue yang dibuat dari tepung, dicampur air dengan kadar tertentu. Lalu dibentuk bulat-bulat, dimasak dalam panci seperti membuat kolak dengan gula merah. Saya sebenarnya tidak begitu hapal cara membuatnya. Itu saja yang saya ingat.

Pisang ijo tentu sudah banyak yang tahu. Pisang ijo yang sering dibuat oleh ibu  masa itu bukan pisang ijo yang kulitnya tipis (didadar). Pisang ijo yang dibuat adalah pisang ijo yang kulitnya menyatu dengan pisang.

Ada lagi satu menu yang paling umum di rumah. Roti yang di celup dengan gula merah cair. Sampai sekarang menu itu selalu ada saat ramadhan.

Seiring menurunnya kesehatan ibu, menu buka puasa kami beli di penjual langganan. Kadang ibu memaksakan diri membuat sesuatu saat saya pulang kampung. Besoknya beliau sakit lagi.

Bapak lebih aktif di masjid saat bulan ramadhan. Sudah tugasnya sebagai imam untuk mengurus semua persiapan. Dulu saat saya masih SD, saya dan beberapa teman diajari bacaan-bacaan shalawat dan salam untuk baginda Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya. Bacaan tarawih hingga witir kami hapalkan.

Semakin bertambah usia saya, entah kenapa saya merasa semakin terpaksa mengikuti semua itu. Hingga bapak marah saya justru semakin keras kepala. Saya bukan anak seperti yang bapak harapkan untuk menjadi imam kelak di kampung.

Harapan bapak kepada saya semakin pupus saat saya SMA. Beliau mengharapkan saya belajar  Al-quran, saya justru sibuk belajar pianika dan gitar sepanjang hari. Pernah juga saya menghabiskan waktu membaca "dari ave maria ke jalan lain ke roma" dan novel berjudul "sebuah episode", sampai lupa mengaji. Hingga kuliah, saya justru semakin sekuler.

Ibu pernah bercerita bahwa suatu malam bapak menangis sendirian. Beliau memikirkan siapa kelak yang akan jadi imam setelahnya. Di Katumbangan ada saja yang bisa menjadi imam, memimpin shalat berjamaah, tapi untuk menjadi imam utama belum ada yang bersedia.

Beberapa tahun lalu beliau mengundurkan diri jadi imam. Bapak menelepon saya sekedar memberi tahu. Sebenarnya saya ingin melarang, tetapi saya menghormati keputusan itu. Beliau sudah sepuh, pendengarannya sudah mulai berkurang, mungkin sudah saatnya istirahat.

Beberapa waktu kemudian bapak menelpon lagi. Bapak didaulat kembali menjadi imam atas permintaan warga. Saya tetap mendukung sepanjang beliau masih mampu.
Kegigihan bapak mengajar ilmu agama pada anak-anak, sangat saya kagumi. Tak putus harapan beliau untuk meneruskan tradisi keagamaan di kampung.

Insya Allah saya niatkan pulang ramadhan ini. Terlebih karena ibu baru saja menjalani operasi bulan lalu. Saya harus pulang, meskipun uang hanya cukup membeli tiket saja.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon