Seorang bapak muda keluar dari bilik ATM bersama anak gadis 8 tahunan. Tersenyum pada istrinya yang sedari tadi menunggu di pekarangan batako. Istrinya berwajah sumringah ibu-ibu kelas menengah. Make-up cerah melawan usia, Pakaian kinclong online shop, dengan gadget lebih dari satu. Sesekali melirik telepon genggam dengan senyum terlatih ala keraton.
Berlembar uang merah ratusan ribu di sodorkan bapak muda itu pada pasangannya. Mungkin bapak muda ini baru saja menerima uang fee sebuah proyek atau mendapat THR dalam jumlah fantastis. Tak lama, mereka pergi tanpa melirik bapak tua penjual putu menangis di depan bank.
Bapak tua di depan bank membunyikan tungkunya meraung-raung bak tangisan penderitaan. Desakan uap panas pada celah kecil menimbulkan suara memekak telinga. Putu harga sepuluh ribu rupiah per bungkus tak banyak disinggahi pembeli. Tak seramai antrean ATM di depannya.
Raungan suara putu menangis diredam oleh suara musik kafe tak jauh dari tempatnya. Menu-menu kue bernama aneh di kafe bukan tandingan putu dengan bahan sederhana. Orang bisa merogoh kantong berpuluh ribu untuk menikmati kue sepiring kecil. Harganya bisa sama dengan harga beras setengah karung.
Bapak tua yang tak pernah libur duduk dalam kegelapan di depan anak emas kapitalisme, pemegang hak atas distribusi rupiah di dua provinsi. Pegawai disana berpakaian rapi, bekerja di ruangan berpendingin dengan tata bicara lembut. Bapak tua melihat beribu orang lewat dengan uang berjuta. Sangat jarang dari mereka singgah untuk menghentikan raungan putu menangisnya.
Motor tua penuh debu singgah di depan bapak tua penjual putu. Anak pemilik motor menangis diikuti omelan bapaknya. Bapaknya menolak memblikan senjata mainan seharga puluhan ribu. Lebih baik digunakan untuk membeli sepatu sekolah, katanya.
Bapak tua penjual putu menghibur anak tadi dengan tiruan-tiruan suara burung. Perhatian anak itu tercuri, lalu tersenyum sedikit-sedikit hingga tertawa. Bapaknya kemudian memberi putu yang dibeli dengan wajah tersenyum. Anak itu terlihat bahagia.
Bapak dan anaknya itu lalu pamit pada penjual putu. Berkali-kali ia men-starter motor bututnya dengan kaki, hingga berbunyi cempreng dan berasap putih tebal. Ia memacu motornya dengan kencang. Di belakang bapak itu tertulis nomor buruh pelabuhan.
Antrian panjang terlihat di pelabuhan besar. Serombongan buruh berlomba membawa gerobak penuh barang. Berpeluh mereka dengan wajah mudah marah. Diikuti serombongan penumpang berwajah kebingungan. Tampaknya mereka adalah TKI yang takut kehilangan barang atau ditipu calo pembawa barang.
Anak buruh memakan putu menangis yang ia beli tadi. Bapaknya pamit bekerja. Padat penumpang adalah rezeki buruh pelabuhan. Sejenak terlupakan persaingan anaknya di sekolah negeri beberapa waktu lagi.
Ia sibuk bekerja untuk mengepulkan dapur keluarga. Tambahan rezeki nantinya akan digunakan untuk seragam sekolah. Uang seragam adalah mahar untuk siswa baru. Wajib hukumnya seorang siswa berseragam. Harga seragam hingga ratusan ribu. Seorang siswa baru hatua membeli minimal 4 setelan, seragam umum SMP, batik, pramuka dan olahraga. Sekolah tak benar-benar gratis.
Anak kecil menenteng putunya keluar dari pelabuhan. Berlari di sela jalanan lubang ke arah penjual kuliner sepanjang jalan besar. Jalan besar ini adalah proyek multi years yang belum selesai. Pedagang kecil memanfaatkannya mendulang rezeki.
Di sana tak ada lapak permanen. Hanya tenda-tenda terpal dengan tiang-tiang yang ditanam ke tanah. Berderet-deret sepanjang sisi kiri jalan. Aneka kuliner tradisonal dijajakan. Sarabba, gogos, sayap bakar, buras hingga minuman-minuman dingin praktis ala kantin sekolah. Tersedia juga kopi-kopi sachet hangat.
Sisi kanan badan jalan diisi deretan penjual "cakar". Cakar adalah pakaian bekas impor dengan kualitas bersaing. Berbagai macam pakaian bekas bermerek terkenal dijual dengan harga miring, topi, baju, jaket, celana, sepatu dan sandal. Jika beruntung, pembeli akan menemukan cakar berkulitas seperti baru.
Sebelah timur penjual cakar ada arena mobil-mobilan. Mobil kecil-kecil untuk satu orang anak digerakkan dengan tenaga batterai. Ada juga mobil-mobilan untuk satu keluarga. Ukurannya besar, bisa menampung hingga 5 penumpang dewasa. Mobil-mobilan besar ini dikayuh agar bisa bergerak. Kerangkanya adalah modifikasi sepeda dengan tambahan atap, kursi penumpang, setir dan ornamen lampu warna-warni. Konstruksinya lebih mirip bemo (becak motor).
Anak buruh tadi bermain-main dengan temannya di jalan, saat keluarga kelas menengah bersama anak gadis 8 tahunan bermain mobil-mobilan. Di tangan gadis kecil itu ada senjata mainan dan kue berkemasan menarik. Mereka baru saja datang dari ATM, melewati penjual putu lalu bersantai menghabiskan uangnya.
Berlembar uang merah ratusan ribu di sodorkan bapak muda itu pada pasangannya. Mungkin bapak muda ini baru saja menerima uang fee sebuah proyek atau mendapat THR dalam jumlah fantastis. Tak lama, mereka pergi tanpa melirik bapak tua penjual putu menangis di depan bank.
Bapak tua di depan bank membunyikan tungkunya meraung-raung bak tangisan penderitaan. Desakan uap panas pada celah kecil menimbulkan suara memekak telinga. Putu harga sepuluh ribu rupiah per bungkus tak banyak disinggahi pembeli. Tak seramai antrean ATM di depannya.
Raungan suara putu menangis diredam oleh suara musik kafe tak jauh dari tempatnya. Menu-menu kue bernama aneh di kafe bukan tandingan putu dengan bahan sederhana. Orang bisa merogoh kantong berpuluh ribu untuk menikmati kue sepiring kecil. Harganya bisa sama dengan harga beras setengah karung.
Bapak tua yang tak pernah libur duduk dalam kegelapan di depan anak emas kapitalisme, pemegang hak atas distribusi rupiah di dua provinsi. Pegawai disana berpakaian rapi, bekerja di ruangan berpendingin dengan tata bicara lembut. Bapak tua melihat beribu orang lewat dengan uang berjuta. Sangat jarang dari mereka singgah untuk menghentikan raungan putu menangisnya.
Motor tua penuh debu singgah di depan bapak tua penjual putu. Anak pemilik motor menangis diikuti omelan bapaknya. Bapaknya menolak memblikan senjata mainan seharga puluhan ribu. Lebih baik digunakan untuk membeli sepatu sekolah, katanya.
Bapak tua penjual putu menghibur anak tadi dengan tiruan-tiruan suara burung. Perhatian anak itu tercuri, lalu tersenyum sedikit-sedikit hingga tertawa. Bapaknya kemudian memberi putu yang dibeli dengan wajah tersenyum. Anak itu terlihat bahagia.
Bapak dan anaknya itu lalu pamit pada penjual putu. Berkali-kali ia men-starter motor bututnya dengan kaki, hingga berbunyi cempreng dan berasap putih tebal. Ia memacu motornya dengan kencang. Di belakang bapak itu tertulis nomor buruh pelabuhan.
Antrian panjang terlihat di pelabuhan besar. Serombongan buruh berlomba membawa gerobak penuh barang. Berpeluh mereka dengan wajah mudah marah. Diikuti serombongan penumpang berwajah kebingungan. Tampaknya mereka adalah TKI yang takut kehilangan barang atau ditipu calo pembawa barang.
Anak buruh memakan putu menangis yang ia beli tadi. Bapaknya pamit bekerja. Padat penumpang adalah rezeki buruh pelabuhan. Sejenak terlupakan persaingan anaknya di sekolah negeri beberapa waktu lagi.
Ia sibuk bekerja untuk mengepulkan dapur keluarga. Tambahan rezeki nantinya akan digunakan untuk seragam sekolah. Uang seragam adalah mahar untuk siswa baru. Wajib hukumnya seorang siswa berseragam. Harga seragam hingga ratusan ribu. Seorang siswa baru hatua membeli minimal 4 setelan, seragam umum SMP, batik, pramuka dan olahraga. Sekolah tak benar-benar gratis.
Anak kecil menenteng putunya keluar dari pelabuhan. Berlari di sela jalanan lubang ke arah penjual kuliner sepanjang jalan besar. Jalan besar ini adalah proyek multi years yang belum selesai. Pedagang kecil memanfaatkannya mendulang rezeki.
Di sana tak ada lapak permanen. Hanya tenda-tenda terpal dengan tiang-tiang yang ditanam ke tanah. Berderet-deret sepanjang sisi kiri jalan. Aneka kuliner tradisonal dijajakan. Sarabba, gogos, sayap bakar, buras hingga minuman-minuman dingin praktis ala kantin sekolah. Tersedia juga kopi-kopi sachet hangat.
Sisi kanan badan jalan diisi deretan penjual "cakar". Cakar adalah pakaian bekas impor dengan kualitas bersaing. Berbagai macam pakaian bekas bermerek terkenal dijual dengan harga miring, topi, baju, jaket, celana, sepatu dan sandal. Jika beruntung, pembeli akan menemukan cakar berkulitas seperti baru.
Sebelah timur penjual cakar ada arena mobil-mobilan. Mobil kecil-kecil untuk satu orang anak digerakkan dengan tenaga batterai. Ada juga mobil-mobilan untuk satu keluarga. Ukurannya besar, bisa menampung hingga 5 penumpang dewasa. Mobil-mobilan besar ini dikayuh agar bisa bergerak. Kerangkanya adalah modifikasi sepeda dengan tambahan atap, kursi penumpang, setir dan ornamen lampu warna-warni. Konstruksinya lebih mirip bemo (becak motor).
Anak buruh tadi bermain-main dengan temannya di jalan, saat keluarga kelas menengah bersama anak gadis 8 tahunan bermain mobil-mobilan. Di tangan gadis kecil itu ada senjata mainan dan kue berkemasan menarik. Mereka baru saja datang dari ATM, melewati penjual putu lalu bersantai menghabiskan uangnya.
EmoticonEmoticon