Kepergian dua kutub sepakbola ini setidaknya menjadi renungan penonton piala dunia yang bawa-bawa klub. Sepakbola ini olahraga tim, bukan soal satu dua bintang. Setiap momentum di sepakbola terdiri dari jutaan kemungkinan. Itulah mengapa kalkulasi diatas kertas kadangkala kurang tepat.
Messi dan Ronaldo yang bermain di negaranya tidak bisa semaksimal di klub. Sama dengan Mohamed Salah yang digadang-gadang akan membawa Mesir ke 16 besar. Dia tetap tidak mampu. Mereka bergantung pada 10 orang lain dalam tim. Sepakbola tidak lagi seperti era Maradona dan Pele, era satu bintang. Sepakbola modern mengembangkan taktik dan strategi mematikan seorang bintang. Misalnya dengan menghentikan aliran bola kepadanya.
Kekalahan Argentina dan Portugal tidaklah mengherankan karena kedua tim tidak begitu kuat sebagai tim. Keduanya hanya memiliki pemain andalan dan itu bukan modal utama dalam sepakbola modern. Berbeda dengan tim-tim seperti Brasil, Prancis, dan Belgia, mereka bertabur bintang dan bermain kolektif. Tim seperti inilah yang bisa menjuarai Piala Dunia.
Fanatisme klub pada piala dunia itu wajar, tetapi tidak tepat dijadikan tolak ukur juara. Itu lah mengapa namanya fanatisme, karena cara pandangnya tidak objektif. Melihat sesuatu bukan dengan pertimbangan-pertimbangan logis. Hanya berdasar pada hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan kinerja tim nasional.
Inilah asal muasal para pembual yang mengatakan negara ini juara, tetapi tersingkir lebih cepat. Pengamat sepakbola mana yang berani mengatakan Argentina atau Portugal yang akan jadi juara dunia. Tidak ada sama sekali, kecuali orang fanatik.
Terserah anda saja jika ingin melanjutkan cara berfikir seperti itu. Yang penting, anda siap kecewa dari malam ke malam, hingga final Piala Dunia.
EmoticonEmoticon