June 08, 2018

Siam (The Island Part 2)

Siam duduk di depan warung kelontong. Warung sekaligus tempat tinggal. Ia menumpang pada seorang kawannya dari Sulawesi Tenggara. Kadangkala Siam tidur di emperan warung, kadang juga di dalam warung, jika kawannya sendirian.

Siam adalah deportan dari negeri tetangga. Terdampar di pulau transit, jalur Tenaga Kerja Indonesia, pulau kenangan akan eksplorasi dan penjualan kayu. Di Pulau inilah deportan dibawa, deportan yang beruntung akan kembali ke kampung halaman. Siam termasuk orang yang terkecualikan oleh keberuntungan. Berpuluh tahun Ia berkelana di pulau ini tanpa pekerjaan tetap.

Kenangan Siam 30 tahun yang lalu Ia ceritakan. Saat berangkat dari kampungnya di Sulawesi Selatan, Siam tak diantar puluhan keluarga seperti perantau lainnya. Ia berangkat tanpa upacara pelepasan keluarga. Biasanya, malam sebelum perantau akan beranjak, rumah perantau ramai. keluarganya berkumpul memberi apa saja sebagai bekal. Tapi tidak dengan Siam.

Siam anak yang tak mau sekolah, menyusup ke kapal di Pare-Pare di usia belasan tahun. Ia sendiri tak tahu berapa usia pasnya. Siam ingin membuktikan pada keluarga dan orang tuanya, bahwa sekolah bukan jalan kesuksesan. Sekolah hanya menghabiskan waktu dan kesenangan.

Malaysia adalah negeri berhujan ringggit dan kesenangan, pikirnya masa itu. Siam sebenarnya dibujuk oleh seorang mandor bahwa Negeri Jiran akan merubah hidupnya. Pekerjaan sangat mudah didapat disana. Siam percaya dia akan kembali ke kampung halaman dengan gelimang harta.

Segala biaya keberangkatan Siam hingga sampai di tempat kerja ditanggung Sang Mandor. Siam hanya membawa uang hasil penjualan emas ibunya. Emas itu ia  curi di hari keberangkatan. Sejak hari itu,  Ia tak pernah lagi melihat ibunya di Pare-Pare.

Siam lalu bekerja di Malaysia,  sebagai kuli bangunan. Berbulan-bulan bekerja,  Siam mulai resah. Ia tak pernah menerima gaji sedikitpun. Saat Ia menanyakan gaji pada Toke (bos tionghoa). Toke ini menjelaskan bahwa Siam belum lunas utang tranpostasinya dari kampung. Siam menyadari, Mandor kepercayaannya telah menjualnya pada Toke. Ia terpaksa bekerja hampir setahun tanpa gaji.

Hingga pada suatu malam, Siam yang asyik tidur di emperan bangunan belum jadi. Bangunan yang ia kerja bersama kawan-kawannya. Ia dibangunkan dengan paksa oleh beberapa orang berseragam. Orang-orang ini meminta dokumen-dokumen. Siam tak mampu menunjukkan satu pun. Naas bagi Siam, Ia ditangkap Imigrasi Malaysia.

Berbulan Ia di penjara dengan intimidasi dan makanan seadanya. Makanan yang hanya layak diberikan kepada hewan peliharaan. Ia juga menjalani hukuman cambuk di bagian pantatnya. Penderitaan ini Siam jalani selama tiga bulan. Setelah kapal deportasi penuh, barulah Ia dan deportan lainnya dibawa dengan kapal ke Indonesia.

Siam lalu sampai di pulau transit. Disinilah Ia menggelandang. Tak mau pulang ke kampung halamannya. Ia merasa malu pulang dengan tangan kosong. Tak sesuai impian dahulu. Di pulau ini,  Siam bekerja serabutan. Apa saja Ia kerjakan. Ia tak punya rumah, Ia tinggal di rumah bos-bos yang mau menggunakan tenaganya.

Berpuluh tahun di pulau ini,  Siam mengaku tak ingat lagi dimana tepat kampung kelahirannya. Ia hanya mengingat bahwa rumahnya dulu ada di dekat jembatan Pare-pare. Jembatan yang menghubungkan kota Pare-pare dan Bojo. Ia juga sudah putus komunikasi dengan keluarganya di kampung. Bahkan Ia sudah di kabarkan meninggal di Malaysia.

Tahun 2015, saat kami sekeluarga mudik ke Sulawesi. Rumah kami dibobol maling. Maling itu mengambil sebuah kipas angin, beras lima liter dan beberapa alat makan. Konon menurut tetangga Siam lah pelakunya.

***Tokoh Siam dan kisahnya ini bukan rekaan. Namanya adalah nama samaran. Biarlah identitas aslinya menjadi rahasia. ***

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon