August 09, 2018

Demokrasi kita bukan Demokrasi Pengantin

Gambar : bowcas.me
Kadangkala,  Pesta Demokrasi tak ubahnya pesta pengantin. Do'a restu hanya diminta-minta saat pesta saja. Begitu pesta selesai, mereka sibuk sendiri, mau punya anak berapa, bikin rumah dimana, tinggal dimana, dan urusan lainnya sudah tak melibatkan para pemberi restu.

Pemilihan pasangan capres-cawapres pun memang tak melibatkan orang-orang yang kelak diundang. Sangat mirip dengan pemilihan pasangan pengantin. Pengantin bebas memilih semau dia. Entah alasan materi,  cinta atau popularitas tidak perlu para undangan mengurusi. Cukup datang dipesta, beri restu dan tidak usah ikut campur.

Pinang-meminang juga terjadi disini. Tentu saja ada cawapres yang kecewa karena tak diterima pinangannya. Saya membayangkan saat pesta nanti, orang kecewa ini bernyanyi lagu bugis sedih seperti gejala-gejala di sulawesi. Pengantinnya pingsan karena mantannya datang. Mudah-mudahan Pak JK tidak ikut-ikut seperti itu.

Demokrasi palsu gaya pengantin ini bukan cuma masalah pada pengantinnya. para pemberi restu tadi tadi juga punya andil. Sebagian besar dari mereka apatis. Ada sedikit yang masih menegur, tapi dijawab "ini urusan rumah tangga kami, kalian jangan ikut campur". Lalu para penegur berjumlah sedikit ini dihujat sebagian besar lainnya.

Memang benar, tugas para undangan hanya datang ke pesta lalu memberikan restu dan semua selesai. Demokrasi sejati bukan seperti itu. Pasangan dengan restu terbanyak harus siap "dikepung" oleh publik. Entah itu media elektronik, media cetak/online, LSM, ataupun media sosial.

Khusus yang terakhir,  media sosial dan kamera-kameranya begitu liar untuk melihat ketimpangan, pengingkaran janji atau pengkhiatan rasa. Sangat mudah foto atau video "keanehan birokrasi" viral. Mungkin inilah yang dimaksud Habermas sebagai Arena Publik (Publik Sphere).

Sayang sekali, Arena publik Indonesia (khususnya medsos) mengalami gejala buruk, memabukkan pembaca, membuat orang tak tahu mana benar dan mana salah. Ini menguntungkan pemilik kepentingan sebagai alasan menghentikan suara publik. Ujung-ujungnya,  kebebasan bersuara kembali di benci, bahkan oleh publik itu sendiri. Kacau.

Kembalikanlah kebebasan bersuara ini pada jalurnya, hingga nanti kita tak menemui lagi persekusi terhadap kelompok tertentu. Demokrasi kita bukan soal menunggu tepuk tangan setuju seluruh hadirin. Demokrasi kita bukan "demokrasi pengantin". Demokrasi kita adalah musyawarah mufakat.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon