December 14, 2019

Ketika UN diganti asesmen kompetensi


Menteri mah bebas bro. Mau ganti nama atau ganti bentuk ujian bisa dilakukan. Seorang menteri memang butuh terobosan kok. Kalau menteri itu ikut-ikut saja program menteri lama,  ya ngapain ganti menteri kan?

Salah satu terobosan "Mas Mendikbud" adalah mengganti Ujian Nasional menjadi asesmen kompetensi. Tapi jangan senang dulu ya anak-anak. Asesmen kompetensi ini juga tidak akan semudah ganti nomor WA. Namanya saja susah disebut nenek-nenek kita di kampung. Pastilah istilah ini tetap ada perjuangan di dalamnya.

UN memang sudah lemah dalam mengukur kompetensi kognitif.  Siapa yang melemahkan?.  Ya kita-kita juga kawan.
Beberapa dari kita (termasuk saya mungkin) menyarankan anak-anak beli buku latihan UN. Bahkan, latihan UN yang di buku itu ada yang betul-betul sama dengan ujian Nasional.

Disinilah tujuan ujian itu dimanipulasi. Anak-anak yang seharusnya diukur kompetensi pada level kognitif "analisis" justru menghafal cara penyelesaian soal itu dari buku atau dari bimbingan kita sendiri. Jadinya, soal itu turun level secara alami menjadi "ingatan". Ingatan tidak lain adalah hafalan. Maka wajar kalau sebenarnya kita sedang mencetak generasi 'ambyar'. Susah move on dari "mantan".

Bicara asesmen, mungkin asesmen yang dimaksud Mas Menteri ini sama dengan asesmen kebanyakan. Asesmen kompetensi biasanya didefenisikan sebagai pembuktian sebuah kompetensi. Anak-anak akan membuktikan kompetensinya, seperti pejabat yang mau menduduki jabatan tertentu. Mudah-mudahan "tidak sama".

Salah seorang siswa kemarin bertanya pada saya,
"kompetensi apa yang mau kami buktikan pak? "
Pertanyaan ini tentu tak serta merta, karena mereka telah membaca berita tentang itu.
Jawaban saya tidak rumit. Mereka memang masih SMP, ngapain dijelaskan panjang-panjang. Lagi pula saya takut "ndak nyampe" kalau sok tahu.

"asesmen itu kamu membuktikan kemampuanmu selama belajar di sekolah" jawab saya.

Siswa ini geleng-geleng. Seolah tak yakin dengan kompetensinya. Entah dia tak memahami istilah kompetensi, atau memang tidak tahu kompetensinya. Allah SWT maha tahu kemampuan hambanya. Tidak usah dibahas.

Yang perlu dibahas adalah penekanan asesmem itu sendiri. Pastilah proses yang dilalui anak-anak ini dijadikan pedoman asesmen itu. Ini juga titik masalah, karena proses yang dilalui anak-anak sekolah saat ini adalah diminta menguasai kompetensi per kompetensi. Ada juga sih kompetensi yang saling berkaitan. Maksudnya kalau tidak menguasai kompetensi satu, tidak akan mampu juga pada kompetensi berikutnya. Makanya ada anak-anak itu (kodong) kayak terseok-seok belajar IPA karena tidak tahu membagi bilangan desimal, pecahan, pangkat dan sebagainya. Untungnya anak-anak kita ini bermental baja. Tahu tidak tahu pokoknya tidak alpa. Kasihan juga kalau tidak dikasih nilai (rajin tawwa).

Jika asesmen kompetensi dilakukan, apakah proses menuju raihan kompetensi itu harus berubah? Jelas harus berubah. Apalagi ada slogan #merdekabelajar di dalamnya. Jangan kaget kalau nantinya kurikulum juga ikut berubah. Biarpun sedikit. Kurikulum berubah, guru berubah. Guru berubah sendiri? Mungkim saja,  tapi kebanyakan harus dipaksa berubah.

Perubahan Ujian nasional ke Asesmen kompetensi akan mengubah cara kerja guru juga.  Saya pake istilah "cara kerja" karena lebih baik didengar ketimbang perubahan kurikulum. #jangansenangdulu bapak/ibu. Mari kita bersiap saja. Ini cuma prediksi saya.

Terakhir, soal anak-anak yang 'kodong' itu. Kalau tetap kompetensinya tidak meningkat, apakah tetap dianggap "pengecualian sistem"?. Terserah kita saja. Mau pusing atau tidak 😂😂😂

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon